Rabu, 26 Juni 2013

Komunitas Pelangi Nusantara: Bisnis dan Sosial Jalan Bersama

Bisnis bukan melulu aktivitas menjual produk demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Bisnis juga bisa dibangun dengan melibatkan kelompok ibu-ibu dan masyarakat di sekitar kita sehingga turut membantu perekonomian mereka, dan berpartisipasi dalam mengurangi angka keluarga miskin. Itulah jenis bisnis yang dijalani oleh Noor Suryanti (41), pengusaha Garmen asal Singosari, Malang, Jawa Timur.
Noor, begitu dia biasa dipanggil, mulai merintis bisnis yang bernuansa sosial ini pada 2008 dengan membentuk kelompok wirausaha sosial yang melibatkan ratusan ibu-ibu dan perempuan setempat.
Dengan mengusung nama Komunitas Pelangi Nusantara, yang dipatenkan tahun 2011, Noor mengajarkan cara mengolah limbah potongan kain dari garmen menjadi produk layak pakai, seperti tas, sarung bantal, dan kain selimut. Sebanyak 20 sampai 30 jenis produk yang dihasilkan komunitas ini.
Dari ide kecil itu, komunitas yang menampung sekitar 150 anggota, terdiri dari 15 kelompok, sudah menghasilkan Rp 10 juta per kelompok. Nilai itu semua diperoleh dari penjualan produk yang mereka buat, mulai harga Rp 10.000 sampai Rp 2,5 juta.
Ide Noor ini bukan saja bisa memberi penghasilan bagi ibu rumahtangga yang terlibat, melainkan juga memberdayakan para anggota komunitas karena pertemuan menjadi ajang berbagi pengetahuan para anggota.
"Ini sama saja dengan mengalihkan perhatian pada masyarakat, yang semula mereka kurang kegiatan dan ujung-ujungnya memilih menikah muda sekarang mereka sudah mengerti dan terampil," ujar Noor Suryanti saat dihubungi Berita Kota, Senin (1/4).
Berkat kegiatannya memberdayakan masyarakat setempat secara ekonomi dan sosial itu, maka Ketua Komunitas Pelangi Nusantara itu terpilih sebagai pemenang Community Enterpreneurs Challenge untuk kategori Pemula (start-up), yang diselenggarakan oleh Arthur Guinnes Fund dan British Council.
Anak kedua dari empat bersaudara itu bisa terbang ke luar negeri untuk berpartisipasi dalam kunjungan studi ke Inggris pada Bulan Mei 2013 dan mendapatkan hadiah total Rp 100 juta.
"Sama sekali tidak menyangka bisa ke luar negeri gratis. Ini baru pertama kali," ujarnya.

Petuah ibu
Dunia fashion memang bukan area asing bagi Noor. Lulusan Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya tahun 2001 ini sama sekali tidak pernah menggunakan ijazah sarjananya untuk melamar pekerjaan. Lulus kuliah dia langsung terjun ke dunia wirausaha dengan membuka garmen sendiri.
Tujuh tahun menggeluti usaha garmen yang diberi nama Pelangi Craft itu, Noor Suryanti mulai berbagi dengan masyarakat di lingkungannya. Kemampuannya dalam mengolah kain menjadi produk bernilai itu ditularkan kepada masyarakat melalui usaha kewirausahaan sosial berbasis kelompok.
Noor mengatakan komunitas bentukannya itu terdiri dari 15 kelompok, yang masing-masing kelompok berjumlah 15 anggota. Anggota kelompoknya itu para perempuan yang berasal dari beragam latar belakang. Mulai dari ibu rumahtangga, mantan tenaga kerja wanita, dan ibu rumahtangga muda yang menikah di bawah umur. Dari jumlah itu, 50 persen anggota komunitas itu merupakan perempuan yang belum pernah menikah. "Mereka datang dan bergabung secara sukarela," ujarnya.
Kelompok bentukannya itu memanfaatkan potongan kain yang selama ini menjadi limbah industri garmen di wilayah Malang. Sebelumnya sisa kainitu dibuang begitu saja. "Sayang banget, banyak potongan kain itu yang dibakar. Makanya saya dapat ide untuk memanfaatkan sisa bahan itu," ujarnya.
Setelah ditelusuri lebih jauh, keputusan mengolah potongan kain (perca) menjadi produk ramah lingkungan (eco Product) ini ternyata bukan semata tanpa cerita. Menurut Noor, keputusannya memilih kegiatan produk ramah lingkungan ini masih berkaitan dengan pengalaman pribadinya dalam menjalani usaha garmen. Pengalaman yang dimaksud adalah petuah sang ibu, Kiptijah, yang selalu meminta sang anak tidak membuang sisa kain. Bahan limbah itu kemudian dibuat menjadi sarung bantal oleh Kiptijah.
Saat pameran, Noor juga memajang produk kain perca desain ibunya, berjajar dengan produknya. Ternyata sepanjang pameran berlangsung, produk kain perca ibunya laris terjual. "Para pengunjung kebanyakan membeli produk ibu saya. Dan itu banyak yang cari," ujarnya.

Kebiasaan menonton
Pengalaman itulah, kata Noor yang melatarbelakangi dirinya merintis komunitas ibu-ibu dengan memanfaatkan kain perca. Hanya saja untuk memperkenalkan konsep kerja kepada ibu-ibu di kampung itu tidak begitu mudah.
Apalagi kebiasaan ibu-ibu menonton televisi sulit diubah. Anggota kelompok ini mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang dilakukan Noor sendiri. Noor bergerak keluar masuk kampung untuk menularkan semangat berwirausaha kepada masyarakat setempat.
Adapun materi dan produk yang diajakarkan adalah membuat produk layak pakai dengan bahan baku limbah potongan kain. Dengan penjelasan secara berkesinambungan dalam setiap pelatihan, Noor mampu melewati hambatan dalam waktu kurang dari satu tahun.
"Caranya ya dengan memberikan penjelasan dan terus mengajari mereka bagaimana bisa terampil dalam membuat produk," ujarnya.

Modal saweran
Berdirinya komunitas ini merupakan perjuangan keras Noor Suryanti bersama anggotanya. Mereka bergerak tanpa bantuan dari pemerintah. Mereka berjuang cukup lama, sekitar 6 bulan. Noor tidak tahu persis berapa rupiah yang dikeluarkannya untuk biaya transportasi dan membeli bahan baku saat pendidikan.
"Nggak tahu berapa habisnya ya, yang pasti banyak banget untuk ongkos bolak-balik saat pendidikan," katanya. Untuk itu Noor merogoh kantongnya sendiri. Dia mengatakan, setidaknya dua minggu sekali dirinya mendatangi anggota kelompok dan memberikan materi.
Setelah kegiatan itu jalan beberapa bulan, para anggota lalu berinisiatif saweran untuk membeli bahan latihan. Misalnya, anggota yang memiliki mesin jahit meminjamkan alat itu.
Saat ditanya berapa modal yang dihabiskan per kelompok, menurut Noor estimasi kasar sekitar Rp 2 juta per kelompok dalam enam bulan. "Tinggal dikalikan saja 2 juta kali 15 kelompok. Nah sebesar itu biaya yang saya keluarkan dari kantong pribadi," ujarnya.
Selain masalah biaya, tantangan lain adalah kemampuan setiap anggota kelompok berbeda-beda. Karena itu Noor menerapkan strategi pembagian tugas. Tidak semua bidang diajarkan ke setiap kelompok dengan pertimbangan waktu dan peluang order di sudah depan mata. Noor menentukan kegiatan kelompok sesuai dengan potensi masing-masing anggota.
"Saya tahu potensi mereka karena selalu mendampingi. Kalau semua mencoba nggak cukup, permintaan banyak kalau nggak dipenuhi nanti diminta orang," ujarnya.

Lemah desain
Rencana penerapan pasar bebas Asean, dengan program Asean Economic Community (AEC) tahun 2015 mendatang, Noor mengatakan pihaknya sama sekali tidak ciut. Bersaing dengan produk negara tetangga itu sudah dipersiapkannya, baik dari sisi kualitas produk dan juga kreativitasnya.
Namun dirinya mengakui bahwa urusan desain produknya itu sangat lemah. Karena anggota komunitas itu belum pernah mendapatkan pendidikan soal desain. Karena itu, Noor berencana menggunakan sebagian uang hadiah Community Enterpreneurs Challenges, total Rp 100 juta, digunakan untuk menggelar pelatihan tentang desain produk yang melibatkan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) atau ITS (Institut Teknologi Sepuluh November). (BK/sm)

Editor : Andy Pribadi
Sumber: http://wartakota.tribunnews.com/detil/berita/131697/Komunitas-Pelangi-Nusantara-Bisnis-dan-Sosial-Jalan-Bersama 

Minggu, 07 April 2013

Community Entrepreneurs Challenge (AGF-BC CEC) WAVE III

Sob, baru-baru ini British Council dan Arthur Guiness Fund kembali menggelar kompetisi  Community  Enterprise Competiton (CEC) dalam lingkup nasional. Kini CEC sudah berjalan untuk yang ke tiga kalinya. CEC sendiri  merupakan ajang kompetisi yang dirancang untuk mengidentifikasi dan mendukung komunitas yang memiliki komitmen dan ide cemerlang dalam menggagas dan mengelola secara mandiri usaha yang bertujuan mengatasi persoalan sosial dan lingkungan masing-masing.
Selama dua tahun, dari 2010-2011, CEC telah menerima aplikasi lebih dari 700 komunitas dari seluruh Indonesia. Komunitas yang dimaksud adalah komunitas di Indonesia (baik yang baru ingin memulai usahanya maupun yang telah berjalan). British Council dan Arthur Guiness Fund memberikan kesempatan bagi komunitas berpotensi di tanah air untuk mendapatkan kesempatan berpartisipasi dalam serangkaian lokakarya, kesempatan berjejaring dan mendapatkan dana investasi hibah yang bernilai total hingga IDR 600 juta dan untuk dua komunitas terbaik akan memperoleh kesempatan untuk study ke London pada bulan Maret 2013. Dalam rangkaian kompetisi, kemudian Sabtu, 23 Maret 2013 bertempat di Blitz Megaplex Pacific Place Jakarta, diputuskan sebanyak enam karya film dokumenter yang lolos sebagai nominator. Film documenter tersebut  dibuat oleh “tangan-tangan” apik jurnalis tanah air, yang terdiri dari komunitas-komunitas nasional yang memiliki potesi besar untuk memajukan negeri. “Penilaian akan berfokus pada karya yang paling menunjukkan ‘spirit’ komunitas” ungkap Riri Riza, Sutradara kawakan yang pernah menyutradarai Film Luarbiasa sekelas Laskar Pelangi. Dalam kesempatannya, Riri sebagai salah satu juri mengumumkan empat pemenang, dua dari kategori film maker terbaik, dan dari kategori komunitas terbaik. Akhirnya keputusan jatuh pada Tim Jurnalis Makassar (mengangkat komunitas Brenjonk) dan Tim Jurnalis Purbalingga (mengangkat komunitas Tani Wanita Sedya Mulya), sedangkan sebagai komunitas yang mendapatkan kesempatan melakukan studi banding ke UK, pilihan jatuh kepada Komunitas Pelanusa dari Malang yang mengusung potensi Pemberdayaan Perempuan dan Koperasi Wanalestari Manoreh dari Yogyakarta yang mengusung potensi Hutan Lestari-Simpan Pinjam.
Social Entrepreneur
George Bernard ShawBila di awal tadi sempat kita singgung mengenai istilah Social Entrepreneur. Sebetulnya apa sih yang dimaksud dengan Social Entrepreneur? Darimana sebetulnya istilah tersebut berasal?  yuk kita terbang dengan mesin waktu ke tahun 70-an…
Kewirausahaan sosial berkembang di Inggris sejak tahun 1970an ketika komunitas menggunakan pendekatan kewirausahaaan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi dan lingkungan di sekitar mereka. Awalnya, pemikiran mengenai Social Entrepreneur dicetuskan oleh George Bernard Shaw pada tahun 1903. Shaw adalah seorang kritikus sekaligus politikus yang tenar di Inggris pada eranya.  “The reasonable man adapts himself to the world; the unreasonable one persists on trying to adapt the world to himself. Therefore all progress depends on the unreasonable man.” George Bernard Shaw, Man and Superman, Maxims for Revolutionaries, 1903. Dalam karyanya tersebut, Shaw mengatakan bahwa dunia ini bergantung pada pihak yang tidak masuk akal. Diperkuat dengan pendapat John Elkington dan Pamela Hartigan dalam buku “The Power Of Unreasonable People” bahwa dunia ini penuh dengan ‘unreasonable people’, yakni orang-orang yang tidak mau mendengarkan skeptisisme lingkungannya dan percaya bahwa pasar, yang sering dipersepsikan bersifat eksploitatif, dapat digunakan demi kepentingan bersama
Saat ini berbagai penelitian membuktikan adanya suatu tren dimana organisasi-organisasi swadaya masyarakat mulai bergerak menjauhi tradisi mengandalkan kontribusi amal (charity) ke arah pendekatan kewirausahaan. Mereka menjalankan usaha yang inovatif untuk mendanai aktivitas sosialnya. Kewirausahaan sosial telah berkembang secara global; mulai dari Coin Street di Inggris, Aravind Eye Care Centre dari India dan Telapak dan Koperasi Hutan Jati Lestari di Indonesia.
Secara lebih spesifik, kewirausahaan sosial yang berbasis pada komunitas dikenal dengan sebutan Community Entrepreneurship, yakni usaha yang dikelola bersama secara terbuka dan demokratis oleh para anggota komunitas. Seorang wirausahawan sosial berbasis komunitas adalah pemimpin yang mampu mendirikan atau mengelola usaha sosial untuk mengatasi persoalan yang dihadapi komunitas. Mereka kreatif dan inovatif dalam membentuk rencana usaha pantang menyerah dalam mencapai objektif sosialnya.
Nah… begitu sob, sekilas gambaran mengenai Social Entrepreneur.. langkah ini merupakan langkah nyata yang dapat memajukan Negeri kita dan membatasi gerak ‘unreasonable people’. Sekarang pertanyaannya adalah, apa bentuk nyata yang bisa kita sumbangsihkan pada Negeri kita yang tercinta ini? Yuk kita kembangkan aktifitas entrepreneurship berbasis komunitas!

Sumber: http://www.pesonamuda.com/index.php/on-the-spot

Minggu, 31 Maret 2013

Profil Pemenang AGF-BC CEC Wave III: Komunitas Pelangi Nusantara


Selama beberapa tahun, Ibu Noor telah membuat hasil karya dari bahan bekas yang didapat dari pabrik tekstil. Saat bermaksud memperbesar usahanya, Ibu Noor menemukan kesempatan besar. Melalui lokakarya kepada masyarakat, Ibu Noor menemukan bahwa banyak perempuan di desa yang memiliki kemampuan berkarya, tapi tertahan oleh ekspektasi dan nilai-nilai tradisional.
Hal ini diperkuat dengan kurangnya pendapatan di masyarakat, yang mendorong gadis-gadis untuk menikah di usia muda. Tanpa kepercayaan diri dan kesempatan, kebanyakan perempuan terbiasa untuk tinggal di rumah sepanjang hari.
Pembelajaran ini menghasilkan terbentuknya Pelangi Nusantara, yang bertujuan tidak hanya mengembangkan bisnis Ibu Noor, tapi juga memberdayakan perempuan di masyarakat. Sebanyak 150 perempuan kini menghasilkan Rp 150,000 tiap minggunya, dan bisa menghasilkan total pendapatan sebanyak Rp 10,000,000 per bulan.

Keberhasilan ini juga mengubah persepsi dan ekspektasi terhadap perempuan. Mulai ada kesadaran di antara para perempuan, bahwa walaupun tidak memiliki latar pendidikan, perempuan masih bisa memiliki kesempatan berkarya. Para ibu pun semakin terdorong untuk memastikan anak-anak dapat melanjutkan sekolah, agar kesempatan bisa terus bertambah.

Koperasi ini juga berkolaborasi dengan universitas di Malang untuk mengajarkan para perempuan mengenai manajemen, teknologi dan pemasaran. Telah ada perencanaan untuk mengembangkan program bagi wisatawan. Melalui Pelangi Nusantara, komunitas telah dapat berkembang dengan sumber daya yang luar biasa: para perempuan.

Sumber: http://news.britishcouncil.or.id/2013/03/komunitas-pelangi-nusantara/

6 Komunitas Terima Penghargaan Community Enterpreneurs Challenges

Enam komunitas kewirausahaan yang berbasis komunitas menerima penghargaan dari kompetisi Community Enterpreneurs Challenges (CEC) dari Arthur Guiness Fund dan British Council. CEC 2013 merupakan yang ketiga kalinya digelar, dan terdapat 200 wirausaha berbasis komunitas yang ikut berpartisipasi.

"CEC ini untuk mendukung dan mendorong social enterpreneur yg berbasis komunitas agar lebih suistanable.tahun ini. CEC akan memberi training kepada para pemenag yang nanti kemudian kembali ke komunitas, untuk menjalankan usaha agara lebih efektif," ungkap Rebecca Razavi Charge D'affairs Kedubes Inggris, saat di temui dalam acara pemberian penghargaan kepada enam komunitas pemenang CEC, Sabtu (23/3).

"Tahun ini ketiga kali program ini digelar. Yang telah mendukung 22 ribu orang dari 12 komunitas di indonesia, dan tahun ini berfokus kepada kaum perempuan. Karena dalam industri 70 persen tenaga kerja perempuan dan perempuan lebih pintar dalam menginvestasikan pendapatan yang didapat," kata John Calvin, Perwakilan Arthur Guiness.

Keenam komunitas tersebut antara lain, Komunitas Pelangi Nusantara dari Malang, Koperasi Serba Usaha Nira Satria dari Banyumas, Kelompok Tani Wanita Sedya Mulya dari Yogyakarta, Koperasi Wanna Lestari Menolleh dari Yogyakarta, Brnjonk dari Mojokerto, dan Komunitas Kapuk dari Jakarta.

Para pememang kompetisi akan menerima pendanaan proyek dengan besar masing-masing sebesar Rp 600 juta dan dua komunitas terpilih akan mendapat kesempatan untuk mengikuti kunjungan ke Inggris.

Foto: annis

KISAH SUKSES UKM: Dengan Kain Perca SURYANTI Terbang Ke Inggris

BISNIS.COM,JAKARTA—Dari mengolah kain perca bersama komunitas perempuan Pelangi Nusantara membawa Noor Suryanti (41) asal Singosari, Malang, Jawa Timur, terbang ke luar negeri untuk berpartisipasi dalam kunjungan studi ke Inggris pada Mei dan mendapatkan hadiah total Rp100 juta.

"Dari kecil jadi luar biasa. Perca membawa saya pergi ke London," kata Suryanti dengan bangga, pasalnya dia belum perah pergi ke luar negeri.

Ketua Kumunitas Pelangi Nusantara itu terpilih sebagai pemenang Community Enterpreneurs Challenges untuk kategori pemula (start-up) yang diselenggarakan oleh Arthur Gunnes Fund dan British Council.
Setelah beberapa tahun lulus di Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya, pada 2001 Suryanti terjun sebagai pelaku usaha untuk pasar Malang, dan Surabaya. Dia juga ikut pameran di Makasar dan Kalimantan.
Dia membuat mukena, busana, sarung bantal, taplak meja dan lain-lainnya. Usahanya terus berkembang. Sementara kain perca sisa jahitannya juga semakin banyak. "Ibu saya bilang kain perca jangan dibuang," katanya.

Dari situ timbul idenya untuk mengolah kain perca itu menjadi berbagai model tas, sarung bantal, taplak meja dan produk lainnya. Permintaan pun banyak. Pada 2005, untuk pertama kali dia ikut pameran di Jakarta, sehingga dia dapat melihat perbandingan desain dan mutu dari produk lainnya.
Di Malang, Pandaan dan Pasuruan , katanya, banyak terdapat usaha konveksi sehingga sisa kain perca pun banyak. Sementara kaum perempuan di wilayahnya juga banyak yang tidak bekerja dan banyak yang menikah muda. Pendidikannya juga rendah.

Untuk itu, timbul idenya untuk memberdayakan kaum perempuan di wilayahnya. Pada 2008, Suryanti yang senang menjahit itu, membina kaum perempuan untuk mengolah kain perca itu. Pada 2011, dia mendirikan komunitas Pelangi Nusantara dan kini membina kurang lebih 10 kelompok atau 150 orang. Dari masing-masing kelompok mempunyai tugas pekerjaan yang berbeda-beda, sesuai dengan keterampilannya. Awalnya, kata Suryanti, mereka mengatakan sulit, karena belum terbiasa. Nanti setiap kelompok, katanya, ada ketuanya. "Saya mengalihkan waktu menonton tv dan waktu merumpi mereka untuk bekerja. Saya terus memotivasi mereka, karena jenis pekerjaannya tidak hanya satu macam saja," katanya.

Dari hasil tugas yang diberikan Suryanti, maka dia dapat menentukan kemampuan masing-masing. "Saya berusaha juga belajar dan saya tekuni," kata Suryanti yang ingin menularkan kemampuannya pada orang banyak itu.

Dia berkeinginan untuk menggunakan kain Indonesia. Tapi tahap awal dimulai dari kain Jawa Timur. Baik itu menggunakan kain tenun mau pun kain batik. Melalui kain perca, ibu dua anak itu juga mengenalkan asal kain batik itu kepada binaannya. Ada batik Malang, Madura, Banyuwangi dan lain-lain, sehingga pengetahuan mereka juga bertambah.

Kain perca itu ada yang diolah dengan teknik quilting atau anyaman. Kain perca itu dipadukannya dengan kain polos dan aksesoris yang menarik. "Saya mengajarkan mereka dengan kualitas ekspor," katan Suryanti yang mendapatkan order secara rutin setiap bulan dari Jepang senilai kurang lebih Rp5 juta.
Apalagi 2015, katanya, akan terjadi pasar bebas ASEAN, maka produk kerajinan dari luar negeri pun bebas masuk. Saingan produknya terutama dari Thailand. Untuk itu, dia terus berupaya mengaungkan pakai produk dalam negeri.

Adanya pembinaan itu, katanya, juga dapat meningkatkan wawasan dan pendapatan kaum perempuan di daerahnya.

Mengenai bahan baku, katanya, tidak menjadi kendala, karena usaha konveksi banyak di daerahnya. Selain itu, permintaan di daerahnya juga banyak. Produknya dapat untuk cinderamata atau tas seminar. "Peluang usahanya sangat besar," katanya.

Produk yang dibuatnya dapat berupa berbagai model tas, bantal kursi, taplak meja, dan lain-lain. Permintaan itu datang dari berbagai kalangan. Misalnya, perusahaan-perusahaan, perguruan tinggi, instansi pemerintah, atau pribadi.

"Harapan saya dengan adanya pembinaan ini dapat meningkatkan pendidikan kaum perempuan," katanya.

Editor : Bambang Supriyanto
Sumber: http://www.bisnis.com/m/kisah-sukses-ukm-dengan-kain-perca-suryanti-terbang-ke-inggris