Bisnis bukan melulu aktivitas menjual produk demi meraup keuntungan
sebanyak-banyaknya. Bisnis juga bisa dibangun dengan melibatkan kelompok
ibu-ibu dan masyarakat di sekitar kita sehingga turut membantu
perekonomian mereka, dan berpartisipasi dalam mengurangi angka keluarga
miskin. Itulah jenis bisnis yang dijalani oleh Noor Suryanti (41),
pengusaha Garmen asal Singosari, Malang, Jawa Timur.
Noor, begitu dia biasa dipanggil, mulai merintis bisnis yang
bernuansa sosial ini pada 2008 dengan membentuk kelompok wirausaha
sosial yang melibatkan ratusan ibu-ibu dan perempuan setempat.
Dengan mengusung nama Komunitas Pelangi Nusantara, yang dipatenkan
tahun 2011, Noor mengajarkan cara mengolah limbah potongan kain dari
garmen menjadi produk layak pakai, seperti tas, sarung bantal, dan kain
selimut. Sebanyak 20 sampai 30 jenis produk yang dihasilkan komunitas
ini.
Dari ide kecil itu, komunitas yang menampung sekitar 150 anggota,
terdiri dari 15 kelompok, sudah menghasilkan Rp 10 juta per kelompok.
Nilai itu semua diperoleh dari penjualan produk yang mereka buat, mulai
harga Rp 10.000 sampai Rp 2,5 juta.
Ide Noor ini bukan saja bisa memberi penghasilan bagi ibu rumahtangga
yang terlibat, melainkan juga memberdayakan para anggota komunitas
karena pertemuan menjadi ajang berbagi pengetahuan para anggota.
"Ini sama saja dengan mengalihkan perhatian pada masyarakat, yang
semula mereka kurang kegiatan dan ujung-ujungnya memilih menikah muda
sekarang mereka sudah mengerti dan terampil," ujar Noor Suryanti saat
dihubungi Berita Kota, Senin (1/4).
Berkat kegiatannya memberdayakan masyarakat setempat secara ekonomi
dan sosial itu, maka Ketua Komunitas Pelangi Nusantara itu terpilih
sebagai pemenang Community Enterpreneurs Challenge untuk kategori Pemula
(start-up), yang diselenggarakan oleh Arthur Guinnes Fund dan British
Council.
Anak kedua dari empat bersaudara itu bisa terbang ke luar negeri
untuk berpartisipasi dalam kunjungan studi ke Inggris pada Bulan Mei
2013 dan mendapatkan hadiah total Rp 100 juta.
"Sama sekali tidak menyangka bisa ke luar negeri gratis. Ini baru pertama kali," ujarnya.
Petuah ibu
Dunia fashion memang bukan area asing bagi Noor. Lulusan Fakultas
Perikanan Universitas Brawijaya tahun 2001 ini sama sekali tidak pernah
menggunakan ijazah sarjananya untuk melamar pekerjaan. Lulus kuliah dia
langsung terjun ke dunia wirausaha dengan membuka garmen sendiri.
Tujuh tahun menggeluti usaha garmen yang diberi nama Pelangi Craft
itu, Noor Suryanti mulai berbagi dengan masyarakat di lingkungannya.
Kemampuannya dalam mengolah kain menjadi produk bernilai itu ditularkan
kepada masyarakat melalui usaha kewirausahaan sosial berbasis kelompok.
Noor mengatakan komunitas bentukannya itu terdiri dari 15 kelompok,
yang masing-masing kelompok berjumlah 15 anggota. Anggota kelompoknya
itu para perempuan yang berasal dari beragam latar belakang. Mulai dari
ibu rumahtangga, mantan tenaga kerja wanita, dan ibu rumahtangga muda
yang menikah di bawah umur. Dari jumlah itu, 50 persen anggota komunitas
itu merupakan perempuan yang belum pernah menikah. "Mereka datang dan
bergabung secara sukarela," ujarnya.
Kelompok bentukannya itu memanfaatkan potongan kain yang selama ini
menjadi limbah industri garmen di wilayah Malang. Sebelumnya sisa
kainitu dibuang begitu saja. "Sayang banget, banyak potongan kain itu
yang dibakar. Makanya saya dapat ide untuk memanfaatkan sisa bahan itu,"
ujarnya.
Setelah ditelusuri lebih jauh, keputusan mengolah potongan kain
(perca) menjadi produk ramah lingkungan (eco Product) ini ternyata bukan
semata tanpa cerita. Menurut Noor, keputusannya memilih kegiatan produk
ramah lingkungan ini masih berkaitan dengan pengalaman pribadinya dalam
menjalani usaha garmen. Pengalaman yang dimaksud adalah petuah sang
ibu, Kiptijah, yang selalu meminta sang anak tidak membuang sisa kain.
Bahan limbah itu kemudian dibuat menjadi sarung bantal oleh Kiptijah.
Saat pameran, Noor juga memajang produk kain perca desain ibunya,
berjajar dengan produknya. Ternyata sepanjang pameran berlangsung,
produk kain perca ibunya laris terjual. "Para pengunjung kebanyakan
membeli produk ibu saya. Dan itu banyak yang cari," ujarnya.
Kebiasaan menonton
Pengalaman itulah, kata Noor yang melatarbelakangi dirinya merintis
komunitas ibu-ibu dengan memanfaatkan kain perca. Hanya saja untuk
memperkenalkan konsep kerja kepada ibu-ibu di kampung itu tidak begitu
mudah.
Apalagi kebiasaan ibu-ibu menonton televisi sulit diubah. Anggota
kelompok ini mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang dilakukan Noor
sendiri. Noor bergerak keluar masuk kampung untuk menularkan semangat
berwirausaha kepada masyarakat setempat.
Adapun materi dan produk yang diajakarkan adalah membuat produk layak
pakai dengan bahan baku limbah potongan kain. Dengan penjelasan secara
berkesinambungan dalam setiap pelatihan, Noor mampu melewati hambatan
dalam waktu kurang dari satu tahun.
"Caranya ya dengan memberikan penjelasan dan terus mengajari mereka bagaimana bisa terampil dalam membuat produk," ujarnya.
Modal saweran
Berdirinya komunitas ini merupakan perjuangan keras Noor Suryanti
bersama anggotanya. Mereka bergerak tanpa bantuan dari pemerintah.
Mereka berjuang cukup lama, sekitar 6 bulan. Noor tidak tahu persis
berapa rupiah yang dikeluarkannya untuk biaya transportasi dan membeli
bahan baku saat pendidikan.
"Nggak tahu berapa habisnya ya, yang pasti banyak banget untuk ongkos
bolak-balik saat pendidikan," katanya. Untuk itu Noor merogoh
kantongnya sendiri. Dia mengatakan, setidaknya dua minggu sekali dirinya
mendatangi anggota kelompok dan memberikan materi.
Setelah kegiatan itu jalan beberapa bulan, para anggota lalu
berinisiatif saweran untuk membeli bahan latihan. Misalnya, anggota yang
memiliki mesin jahit meminjamkan alat itu.
Saat ditanya berapa modal yang dihabiskan per kelompok, menurut Noor
estimasi kasar sekitar Rp 2 juta per kelompok dalam enam bulan. "Tinggal
dikalikan saja 2 juta kali 15 kelompok. Nah sebesar itu biaya yang saya
keluarkan dari kantong pribadi," ujarnya.
Selain masalah biaya, tantangan lain adalah kemampuan setiap anggota
kelompok berbeda-beda. Karena itu Noor menerapkan strategi pembagian
tugas. Tidak semua bidang diajarkan ke setiap kelompok dengan
pertimbangan waktu dan peluang order di sudah depan mata. Noor
menentukan kegiatan kelompok sesuai dengan potensi masing-masing
anggota.
"Saya tahu potensi mereka karena selalu mendampingi. Kalau semua
mencoba nggak cukup, permintaan banyak kalau nggak dipenuhi nanti
diminta orang," ujarnya.
Lemah desain
Rencana penerapan pasar bebas Asean, dengan program Asean Economic
Community (AEC) tahun 2015 mendatang, Noor mengatakan pihaknya sama
sekali tidak ciut. Bersaing dengan produk negara tetangga itu sudah
dipersiapkannya, baik dari sisi kualitas produk dan juga kreativitasnya.
Namun dirinya mengakui bahwa urusan desain produknya itu sangat
lemah. Karena anggota komunitas itu belum pernah mendapatkan pendidikan
soal desain. Karena itu, Noor berencana menggunakan sebagian uang hadiah
Community Enterpreneurs Challenges, total Rp 100 juta, digunakan untuk
menggelar pelatihan tentang desain produk yang melibatkan mahasiswa
Institut Teknologi Bandung (ITB) atau ITS (Institut Teknologi Sepuluh
November). (BK/sm)
Editor : Andy Pribadi
Sumber: http://wartakota.tribunnews.com/detil/berita/131697/Komunitas-Pelangi-Nusantara-Bisnis-dan-Sosial-Jalan-Bersama